Jakarta, mediakota.com – Ruang digital kini tak sekadar tempat berbagi cerita dan hiburan. Di balik layar gawai, algoritma tak hanya merekomendasikan musik dan film, tapi juga bisa menyodorkan paham-paham kebencian. Bagi kelompok radikal, media sosial menjadi ruang subur menyebarkan ideologi ekstrem. Di titik inilah kontranarasi negara diuji.
Penyebaran paham radikal kebencian melalui media sosial memiliki efek yang sangat luar biasa. Media sosial hadir bukan lagi sebagai pelengkap, namun telah menjadi medan utama penyebaran radikalisme, menggantikan pola-pola konvensional seperti ceramah tertutup atau selebaran gelap.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia, Prof. Adrianus Eliasta Meliala, dalam Podcast Kafe Toleransi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut bahwa strategi kelompok radikal memang sudah lama bergeser ke dunia maya.
“Kalau kita lihat pada waktu dulu kita kenal organisasi teroris yang bernama ISIS ya, sekitar tahun 2011–2012, mereka memang memakai media sosial, media internet, sebagai media perjuangannya,” kata Adrianus.
Ia menambahkan, kelompok ini sadar bahwa media sosial adalah alat propaganda yang murah, menjangkau luas, dan mampu menanamkan pesan secara pribadi. Kreativitas propaganda radikal juga ikut berevolusi dengan menciptakan konten-konten yang menggungah bagi calon korban. “Dalam rangka mendapatkan massa baru, mendapatkan penggemar baru, maka mereka terpaksa melakukan cara-cara yang kreatif,” katanya.
BNPT mencatat, strategi baru ini telah melahirkan kasus sederet nyata. Mulai dari serangan tunggal yang dilakukan Zakia Aini di Mabes Polri hingga penangkapan jaringan di Purworejo. Semua menunjukkan pola rekrutmen dan radikalisasi digital yang kian sistematis.
Yang menjadi perhatian, jumlah pengguna media sosial Indonesia yang sangat besar. Menurut Adrianus, diperkirakan ada lebih dari 70 juta pengguna aktif dari populasi muda usia di bawah 30 tahun. Populasi ini menjadi pasar potensial bagi propaganda ekstrem. Lantaran jumlahnya sangat banyak, niscaya belaka bila kemudian ada yang terpapar barang satu dua. “Dari sekitar 70 juta itu, mungkin ada 0,001% yang nyangkut. Sekali lagi karena besarnya populasi itu, maka lalu pasti ada yang kemudian nyangkut dan kemudian menjadi radikal,” ujarnya.
Namun, ia menggarisbawahi bahwa tidak semua orang yang mengakses konten radikal akan menjadi pelaku. Ada tahapan yang memisahkan antara simpati dan aksi: akses pada jaringan, pembiayaan, dan bahan aksi teror. “Benar bahwa antara men-download, meng-upload, mem-posting dan seterusnya itu satu hal, tapi kemudian melakukan kegiatan radikal adalah hal yang lain,” ucapnya.
Inilah ruang yang coba diisi BNPT dengan kontranarasi strategis. Lewat program Kafe Toleransi, literasi digital, penguatan narasi kebangsaan, hingga kemitraan dengan kampus dan komunitas muda, negara membangun tandingan atas propaganda yang masif.
Kontranarasi tidak hanya berfungsi sebagai klarifikasi, tetapi juga sebagai vaksin ideologis dengan menanamkan nilai-nilai moderat sebelum virus kebencian menyebar lebih jauh ke dalam informasi. Apalagi, generasi muda pengguna digital adalah penentu masa depan. BNPT melihat, untuk membendung radikalisasi, pencegahan yang lebih murah dan lebih manusiawi dibandingkan penindakan.
Kontranarasi tak sekadar menepis hoaks atau membantah kebencian. Ia harus hadir dengan gaya yang komunikatif, merangkul, dan relevan. Terutama bagi generasi digital yang lebih banyak menampilkan layar daripada podium. Di tengah derasnya arus informasi, pertarungan ideologi berlangsung senyap di kolom komentar, unggahan video, hingga pesan instan. Di ruang tersebut, BNPT kini menempatkan salah satu perlindungan utama bangsa.
( Fauzi )