Berita Eksklusif : Penegakan Hukum dalam Kasus Ongky Surya Abdi Membuka Tabir Ambiguitas Persidangan

Sumenep, Mediakota.com – Integritas sistem peradilan Indonesia kembali pada ujian substansial seiring bergulirnya bentrokan kasus dugaan tindak pidana narkoba yang menjerat Ongky Surya Abdi, atau akrab disapa Ongki. Bertempat di Ruang Sidang Pengadilan Negeri Sumenep pada Rabu, 11 Juni 2025, sidang dengan agenda pemeriksaan saksi dari Kepolisian Sektor Dungkek, selaku pihak yang melakukan penggerebekan dan penangkapan, justru memantik polemik hukum.

Kehadiran Saksi berinisial MH dan AR di hadapan Majelis Hakim, bukannya menguatkan dakwaan, justru menimbulkan kekecewaan mendalam dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) akibat ambiguitas dan inkonsistensi keterangan yang disampaikan.

Dokumen dakwaan yang disusun oleh JPU secara eksplisit menjerat terdakwa Ongki dengan Pasal 112 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Merujuk pada kepemilikan racun jenis sabu seberat 0,30 gram. Namun, fakta hukum yang terkuak dalam konferensi mencoreng narasi percakapan.

Kedua saksi penangkap dari Polsek Dungkek, dalam kesaksiannya di hadapan Majelis Hakim, secara gamblang menyatakan bahwa Ongki hanya berperan sebagai pengguna narkoba. Keterangan saksi ini, secara yuridis, mengandung disparitas fundamental. Apabila status Ongki adalah murni pemakai, maka seharusnya ia dijerat dengan Pasal 127 Undang-Undang Narkotika, bukan Pasal 112 atau 114 yang mengindikasikan peran sebagai pengedar, pemilik, atau kurir.

Kontradiksi tajam antara substansi dakwaan dan kesaksian saksi ini menyebabkan JPU, yang bertugas menegakkan kebenaran materiil, tampak menundukkan kepala, menunjukkan kekecewaan atas ambiguitas yang berpotensi mencederai asas keadilan dan kepastian hukum.

Kondisi demikian mengindikasikan adanya disonansi antara hasil penyidikan awal dan fakta yang dihadirkan di muka persidangan, menimbulkan pertanyaan krusial terkait proses perolehan alat bukti dan penentuan pasal yang didakwakan.

Di tengah pusaran inkonsistensi tersebut, terdakwa Ongki Surya Abdi memberikan bantahan tegas di hadapan Majelis Hakim terkait kepemilikan barang bukti sabu seberat 0,30 gram. Ia secara lugas menyatakan bahwa pengakuannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dilakukan di bawah tekanan dan ancaman dari saksi yang melakukan penangkapan.

Klaim adanya intimidasi ini, jika terbukti kebenarannya, akan berdampak serius pada validitas BAP sebagai alat bukti dan dapat mencoreng prinsip due process of law.

Selepas persidangan, saat hendak kembali ke ruang tahanan pengadilan Sumenep, Ongki sempat menyampaikan keterangan kepada awak Media Kota. Ia menekankan bahwa seluruh pernyataannya di persidangan merupakan kebenaran yang “apa adanya.” Ongki secara konsisten menolak mengakui barang bukti sabu seberat 0,30 gram tersebut, sebab menurut pengakuannya, sabu tersebut telah ia konsumsi pada siang hari sebelum penangkapan yang dilakukan pada dini hari sekitar pukul 01.30 WIB.

Lebih jauh, Ongki secara rinci memaparkan kembali kronologi penangkapannya yang ia nilai janggal. “Seperti yang pernah saya sampaikan kepada Mediakota.com sebelumnya, bahwa saat penggerebekan di dalam rumah kepala desa dan polisi Dungkek tidak menemukan barang bukti, kemudian saya dibawa keluar rumah lalu kepala desa Jadung masuk lagi diikuti Pak Kanit.

Setelah itu saya dibawa masuk lagi ke dalam rumah disuruh melihat barang bukti yang kononnya baru ditemukan dalam bungkus rokok Surya 12, sedang saya tidak pernah merokok Surya 12 selain Dji Sam Soe kretek. Itu juga saya ungkapkan di depan Majelis Hakim biar tahu,” ungkapnya, menegaskan poin-poin yang juga telah disampaikan dalam persidangan.

Kesaksian Ongki mengenai penemuan barang bukti setelah ia dibawa keluar rumah dan kembali dimasukkan, serta fakta ia tidak pernah mengkonsumsi rokok jenis Surya 12, menambah kerumitan dan dugaan kejanggalan dalam proses penangkapan.

Kasus Ongky Surya Abdi ini tidak sekadar menjadi kasus individu, melainkan mencerminkan tantangan dalam penegakan hukum yang serius di Indonesia. Di tengah desakan masyarakat akan reformasi hukum dan perbaikan sistem peradilan, setiap inkonsistensi dan dugaan prosedur pelanggaran harus ditindaklanjuti dengan serius, transparan, dan akuntabel. Hukum adalah pilar utama keadilan dan perdamaian sosial; ia tidak boleh dimanipulasi atau dipermainkan demi kepentingan sesaat.

Seluruh unsur penegak hukum mulai dari lembaga kepolisian sebagai penyelidik, kejaksaan sebagai jaminan, hingga hakim sebagai pemutus perkara memikul tanggung jawab moral dan yuridis yang sangat besar.

Mereka memastikan setiap tahapan proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, HAM, dan peraturan-peraturan yang berlaku. Kasus Ongki harus menjadi catatan krusial bagi evaluasi komprehensif terhadap prosedur operasional standar penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan penyusunan BAP.

Publik kini menuntut bukan hanya vonis, melainkan proses yang jujur ​​dan adil, di mana kebenaran materiil menjadi pijakan utama. Hanya dengan demikian, kepercayaan masyarakat Sumenep terhadap sistem pemberitaan dapat memberitakan, dan Indonesia dapat menunjukkan komitmennya untuk menegakkan hukum yang tegas, berbobot, dan berkeadilan bagi setiap warga negara.

( R.M Hendra)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *