Sumenep, Mediakota.com – Sebuah Ketidaklaziman hukum yang mencengangkan tengah mengacaukan Kabupaten Sumenep. Sembilan hari berselang dari kejadian mencekam di Sukilan (9/4/2025), di mana seorang individu yang diduga kuat mengalami gangguan jiwa (ODGJ) bernama Sahwito melaporkan melakukan tindakan yang membahayakan, justru pihak keluarga Sahwito mengambil langkah yang tak terduga: melaporkan balik korban yang berupaya menyelamatkan diri dan orang terdekatnya ke Polsek Nonggunong atas dugaan terjadi.
Keheranan dan tanda tanya besar sontak menyeruak. Bagaimana mungkin seseorang yang disinyalir kuat menderita cacat mental, yang tindakannya berpotensi mengancam nyawa, bahkan keluarganya melaporkan pihak yang bertindak defensif? Asep, seorang Saksi mata dan juga korban dugaan agresi Sahwito, melalui sambungan virtual menyampaikan kegelisahannya kepada awak media ini. “Banyak pihak yang meyakini Sahwito adalah ODGJ. Sungguh ironis, upaya penyelamatan diri malah berakhir pada laporan polisi,” ungkapnya dengan nada tak habis pikir.
Gelombang kejanggalan semakin menguat ketika Tolak Edi, pihak yang melaporkan, membeberkan kronologi kejadian. Dihubungi pada 18 April 2025, Tolak Edi menjelaskan bahwa dirinya menerima panggilan dari Polsek Nonggunong untuk dimintai keterangan terkait dugaan yang diajukan kepadanya. “Saya heran, Mas Hendra. Saya sama sekali tidak melakukan benteng. Tindakan saya semata-mata untuk menyelamatkan saudara saya dari cengkeraman maut Sahwito yang mencengkeram dengan kuat,” tegas Tolak dengan nadaVoice yang sarat akan kebingungan.
Lebih lanjut, Tolak Edi menafsirkan logika di balik pelaporan tersebut. “Andai saya terlambat mengambil tindakan, mungkin nyawa saudara saya sudah melayang. Mengapa tindakan Sahwito yang jelas-jelas membahayakan jiwa tidak dianggap sebagai dugaan atau bahkan percobaan pembunuhan? Ini sungguh tidak masuk akal,” imbuhnya dengan nada getir.
Sebuah intervensi dari Kasat Reskrim Polres Sumenep menambah kabut misteri dalam kasus ini. Menurut penuturan Tolak Edi, Kepala Desa Talaga, Kecamatan Nonggunong, Fauzi, mengaku dihubungi oleh Kasat Reskrim yang mengecualikan pihak desa dalam menyelesaikan permasalahan tersebut secara kekeluargaan (restorative justice). Pernyataan Kasat Reskrim ini, di satu sisi, mengindikasikan harapan akan penyelesaian damai, namun di sisi lain, mengabaikan situasi situasi yang melibatkan dugaan kuat gangguan jiwa.
Asep, yang juga tercatat sebagai pelapor atas dugaan kekerasan yang dilakukan Sahwito, menyoroti adanya kejanggalan yang lebih dalam dalam penanganan kasus ini. Ia mengungkapkan adanya isu yang beredar di kalangan keluarga Sahwito, yang mengisyaratkan adanya upaya “mengorbankan” pihak lain demi meredakan permasalahan tersebut. “Yang lebih mengejutkan, pihak Polsek Nonggunong menyatakan bahwa Sahwito waras! Jika benar demikian, mengapa bukan Sahwito sendiri yang melaporkan dugaannya?” tanyanya dengan nada skeptis. Asep tekanan perlunya keterlibatan ahli kejiwaan dalam menangani kasus yang melibatkan individu dengan riwayat atau indikasi gangguan mental.
Sebagai mantan aktivis LSM Commando Barisan Anti Anarkis (COBRA), Asep memberikan perspektif hukum yang tajam terkait pembelaan diri. “Jika tindakan ODGJ mengancam keselamatan fisik secara langsung dan nyata, maka pembelaan diri yang proporsional adalah hak yang dilindungi,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa dalam situasi ekstrim di mana bahaya yang ditimbulkan ODGJ meluas dan tidak ada cara lain untuk menghentikannya, tindakan kekerasan yang diukur sebagai upaya terakhir mungkin dapat dipertimbangkan, namun dengan hati-hati dan proporsionalitas yang tinggi. Asep juga menekankan pentingnya tindakan aparat penegak hukum yang profesional dan terukur, dengan mengutamakan keselamatan masyarakat dan ODGJ itu sendiri.
Lebih lanjut, Asep menjelaskan muatan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait dengan tidak dapat dipidananya seseorang yang mengalami gangguan jiwa pada saat melakukan tindak pidana. Namun, ia menekankan perlunya pembuktian yang kuat melalui pemeriksaan ahli kejiwaan. Meskipun tidak dipidana, hakim dapat memerintahkan perawatan di rumah sakit sebagai langkah pengamanan. “Meskipun pelaku tidak dipidana, pengorbanan yang dilakukan oleh ODGJ tetap memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan potensi ganti kerugian,” tutupnya.
Kasus ini menjadi preseden yang dihukum, mempertontonkan potensi ketidakadilan dalam upaya membela diri dari ancaman individu yang diduga ODGJ justru berbalik menjadi tuntutan pidana. Pertanyaan mendasar yang menggantung adalah: apakah penegakan hukum telah mempertimbangkan secara komprehensif aspek kejiwaan dalam kasus ini? Ataukah logika hukum semata mengabaikan realitas kompleksitas interaksi dengan individu yang memiliki disabilitas mental? Masyarakat Sumenep menantikan jawaban yang berkeadilan, bukan sekedar prosedur kepastian.
( R.M Hendra )