Sumenep, Mediakota.com – Di ufuk timur Kalianget, di mana taksi-taksi penantian membisu, tersembul ironi pembangunan yang menganga bagai luka di lanskap Sumenep. Lensa mediakota.com menangkap bisunya kendaraan pengangkut, namun di baliknya terpatri narasi pedih: “BUPATI LIHATLAH…! Banyak Jalan Rusak di kepulauan…! Sudah bertahun-tahun rusaknya lho…!!!” Ini bukan sekedar keluhan infrastruktur, melainkan representasi terabaikannya hak asasi, yang lantang disuarakan oleh Ach. Supyadi SH,. MH, menyanyikan “pemberontak akal” Berdarah Sumenep.
Supyadi, dengan kecerdasan seorang ahli hukum dan keberanian seorang pejuang, melihat kerusakan jalan di kepulauan, terutama di Pulau Raas yang merupakan tanah kelahirannya, sebagai metafora kegagalan kepemimpinan. Janji-janji kesejahteraan yang dilontarkan kepada bupati terdahulu, dan bahkan yang kini berkuasa, menguapkan bagai kabut diterpa mentari pagi. Bagi Supyadi, jalan-jalan yang menganga bagai “Sirotol Mustaqim” itu adalah cerminan abnegasi tanggung jawab, sebuah pengkhianatan terhadap amanah yang dianalogikan dengan alam yang terluka.
“Seandainya para pemimpin Sumenep terdepan atau sekarang memiliki setitik empati, niscaya kepulauan takkan merasakan jalan yang menguji nyali, seolah menantang maut di setiap jengkalnya,” ujar Supyadi dengan nada getir. Kematian anak-anak sekolah melintasi jalur berbahaya itu adalah simbol hilangnya rasa aman, sebuah kondisi yang mengingatkannya pada “jaman Belanda yang masih belum merdeka”. Pernyataan ini menyentil, bahwa kemerdekaan hakiki belum sepenuhnya dirasakan di pelosok Sumenep.
Langkah Supyadi, dari baliho-baliho aspirasi yang dibungkam hingga stiker-stiker gerilya di jantung birokrasi, dan kini merambah taksi-taksi Kalianget, adalah perwujudan “pemberontakan akal” yang terinspirasi oleh kepedulian mendalam. Ia mengingatkan Bupati untuk tidak menjadi “matahari yang hanya menyinari daratan”, melainkan juga “hujan yang menyuburkan kepulauan”. Namun, janji sang bupati, yang dulunya lantang memenuhi kesetaraan, kini terasa bagai “parfum, setelah disemprotkan baunya hilang perlahan seiringnya waktu.” Sebuah kiasan pedih tentang retorika tanpa substansi.
Perjuangan seorang “Single Fighter” seperti Supyadi adalah oase di tengah gurun kepasrahan. Kecintaannya pada tanah leluhur dan pengabdiannya pada masyarakat kepulauan adalah “mata air” yang menarik perhatian di tengah kekeringan. Pertanyaannya kini menggantung di udara Sumenep: akankah “gerakan gerilya” ini mampu mengetuk hati nurani sang pemimpin? Maukah kepulauan terus dibiarkan merana, menjadi “tanah tandus” di tengah gembar-gembor pembangunan?
Sumenep menanti aksi nyata, bukan sekadar janji yang terombang-ambing bagai “daun kering dihembus angin”. Sorotan muncul pada Bupati, yang dikabarkan menikmati kemewahan empat mobil dinas dan empat sopir pribadi. Publik menanti pertanggungjawaban, sebuah “panen kebaikan” yang seharusnya tumbuh dari “benih janji” yang dulu ditabur. Jangan biarkan kepulauan terus menjadi “bayang-bayang” dalam peta pembangunan Sumenep. Alam pun seolah-olah menyaksikan ketidakadilan ini, dan sejarah akan mencatat, apakah sang pemimpin mampu menjawab “seruan bumi” kepulauan dengan tindakan nyata
( RM Hendra )