
Sumenep, Mediakota.com – Konflik layanan publik yang melibatkan Perumda Air Minum (PDAM) Sumenep dan warga Desa Gunggung Timur telah melampaui batas toleransi teknis dan memasuki ranah tuntutan hukum yang fundamental. Kegagalan suplai air bersih selama lebih dari satu bulan, yang tadinya hanya dianggap sebagai keluhan, kini diubah oleh warga menjadi gugatan berbasis konstitusi yang serius, didukung penuh oleh kerangka hukum nasional dan regulasi daerah.
Meskipun penyediaan air minum secara spesifik tidak termasuk dalam enam urusan wajib pelayanan dasar utama yang diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) Sumenep tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), para pelanggan menegaskan bahwa kewajiban layanan PDAM tidak bisa dibatalkan oleh celah regulasi tersebut.
Tuntutan warga Gunggung Timur berdiri kokoh di atas tiga landasan yudisial, menjebak PDAM Sumenep dalam jerat pertanggungjawaban yang sulit dihindari:
- Pilar Perlindungan Konsumen: Ancaman Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability). Kelangkaan air bersih selama empat minggu tanpa kejelasan memadai secara eksplisit melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Pasal 4 (Hak Konsumen) dan Pasal 7 (Kewajiban Pelaku Usaha) menjadi dasar bahwa PDAM telah lalai dalam menyediakan hak konsumen atas perolehan air bersih yang layak.
Poin paling krusial adalah potensi tuntutan ganti rugi perdata melalui Pasal 19 UUPK, yang memungkinkan tuntutan berdasarkan prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability). Ini berarti PDAM wajib membayar ganti rugi (Restitusi) atas kerugian materiil dan imateriil warga tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan yang rumit di pihak penggugat.
- Pilar Pelayanan Publik. Kegagalan De Facto SPM. PDAM sebagai penyelenggara pelayanan publik harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Macetnya layanan air lebih dari 30 hari adalah kegagalan de facto dalam memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan, terlepas dari klasifikasi urusan wajib dalam Perbup. Tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 15 (Kewajiban Penyelenggara) dan Pasal 17 (Larangan Diskriminatif).
- Pilar Regulasi Daerah. Inkonsistensi Tata Kelola. Regulasi lokal justru semakin memperkuat posisi warga. Perbup Sumenep Nomor 58 Tahun 2023 mengikat PDAM pada komitmen penyelenggaraan pelayanan prima. Kelalaian yang berlarut-larut ini menunjukkan inkonsistensi dan pengabaian terhadap tata kelola pemerintahan yang baik.
Lebih tajam lagi, Permendagri Nomor 21 Tahun 2020 dan Perbup Sumenep Nomor 38 Tahun 2023 tentang Tarif mewajibkan bahwa penyesuaian tarif harus sejalan dengan peningkatan pelayanan. Warga yang taat membayar iuran wajib (termasuk denda) namun tidak menerima pelayanan sama sekali berhak menuntut pengembalian uang (Restitusi).
Berbekal kerangka hukum ini, Sunan dan warga Gunggung Timur tidak lagi berposisi sebagai pihak yang sekadar mengeluh, melainkan sebagai pihak yang secara aktif menuntut penegakan hukum terhadap Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dianggap gagal menjalankan amanat konstitusional.
Tiga jalur hukum kini terbuka lebar: Laporan Pidana (atas dugaan kelalaian pejabat publik), Gugatan Perdata (untuk menuntut ganti rugi materiil dan imateriil), dan Gugatan Tata Usaha Negara (TUN) (untuk menggugat kebijakan administrasi yang melanggar Asas Umum Pemerintahan yang Baik/AUPB).
Direksi PDAM Sumenep berada di persimpangan kritis. menghadapi konsekuensi hukum atas kegagalan sistemik, atau segera mengambil tindakan korektif yang konkret dan transparan.
(R. M Hendra)