Sumenep, Mediakota.com – Panggung judicature di Kabupaten Sumenep kembali menjadi sorotan dengan digelarnya babak inisiasi (sidang perdana) perkara dugaan pencemaran nama baik. Kasus dengan register perkara yang menyangkut Terdakwa inisial Salama dan Pelapor Ommania ini, bukan sekadar perseteruan personal, melainkan clash hukum yang menguji supremasi hukum dan tatanan etika sosial.
Sidang yang termaktub pada Senin, 27 Oktober 2025, pukul 11.00 WIB, menjadi locus baru perihal delicta yang disinyalir berakar dari “penyakit hati” dan kini telah bertransmutasi menjadi ancaman pidana yang serius. Konstruksi yuridis perkara ini bermula dari tuduhan atau pernyataan yang diduga merusak kehormatan dan nama baik Pelapor Ommania pada 20 April 2025.
Perbuatan mala fide ini, yang secara eksplisit diklaim tidak berdasar pada fakta (fiktif), telah memenuhi unsur onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum). Merasa immateriil loss dan tercederai kehormatannya, Ommania lantas menempuh jalur hukum formal melalui laporan kepolisian ke Polsek Sronggi pada 22 April 2025.
Fakta menarik yang terkuak dalam dossier sebelum litigasi adalah bahwa tindakan Terdakwa Salama ini bukanlah prima facie (pertama kali), melainkan telah terulang hingga enam (6) kali di ruang publik. Pelapor Ommania menegaskan, “Salama sudah enam kali melakukan ini kepada saya, Pak. Bahkan upaya Alternative Dispute Resolution (ADR) melalui mediasi telah ditempuh sebanyak enam (6) kali juga di Balai Kebundadap Timur.”
Namun, serangkaian upaya persuasif-mediatif tersebut menemui jalan buntu (deadlock), lantaran Terdakwa Salama dilaporkan tetap bersikukuh dengan pendiriannya, mengindikasikan ketiadaan itikad baik untuk rekonsiliasi.
Pengakuan Terdakwa: Elemen Kunci yang Memperberat Posisi Hukum
Titik kulminasi dari sidang perdana ini terjadi ketika Majelis Hakim melontarkan pertanyaan krusial. Secara mengejutkan, Terdakwa Salama dengan gamblang mengakui kebenaran perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Pengakuan ini, dalam konteks hukum acara pidana, secara yuridis-formal berfungsi sebagai penguatan (konfirmasi) terhadap konstruksi dakwaan jaksa Penuntut Umum (JPU) dan secara ipso facto dapat memperberat posisi hukum Terdakwa dalam penentuan amar putusan. Jalannya proses hukum ini mendapatkan attentiveness dari Sekjen NGO BIDIK sekaligus Redaktur Media Detik Kota, Mas Sunan, yang juga merupakan famili dari korban.
Menanggapi pengakuan (aveu) Terdakwa di muka persidangan yang bersifat pro justitia, Sunan menyampaikan pandangan hukum yang tajam.
“Pengakuan Terdakwa di persidangan memperjelas bahwa kesalahan yang dilakukan Salama sudah fatal. Perbuatannya telah secara terang-terangan melanggar ketentuan hukum tentang pencemaran nama baik.
Berdasarkan asas equality before the law dan demi tegaknya supremasi hukum, pelaku wajib dihukum sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Kami mendesak agar proses ini berjalan imparsial dan memberikan efek jera (deterrent effect),” ujar Sunan dengan nada penegasan.
Dalam spektrum hukum pidana positif Indonesia, perbuatan yang didakwakan kepada Salama dikategorikan sebagai delik penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pengakuan bersalah Terdakwa menjadi elemen substansial dalam pertimbangan Majelis Hakim untuk menentukan pemidanaan, mengingat tindakan tersebut telah menimbulkan kerugian immateriil yang nyata bagi korban dan berpotensi merusak tatanan sosial di masyarakat.
Sidang akan dilanjutkan dengan agenda pembuktian atau tuntutan dari JPU, di mana nasib Salama kini berada di ujung tanduk ancaman kurungan penjara. Justitia (keadilan) kini menantikan keputusan yang legitimate dari corpus (badan) peradilan.
(R. M Hendra)











