Sumenep, Mediakota.com – Opini – Realitas keberadaan tambang galian C di Kabupaten Sumenep menghadirkan dilema kompleks yang tidak dapat diabaikan. Material urugan, yang notabene hasil dari aktivitas penambangan ini, merupakan komponen krusial dalam pembangunan infrastruktur, baik untuk kepentingan masyarakat maupun pemerintah. Proyek-proyek monumental seperti gedung dewan yang baru diresmikan, kompleks Polres Sumenep, dan berbagai proyek pemerintah daerah lainnya menjadi saksi bisu ketergantungan ini.

Namun, di balik megahnya bangunan-bangunan tersebut, tersimpan ironi praktik penambangan yang sering kali tidak terkendali. Fenomena “petak umpet” antara pelaku galian C dengan oknum pejabat, serta keberanian sebagian pelaku yang beroperasi secara terang-terangan, mengindikasikan adanya permasalahan serius dalam tata kelola dan penegakan hukum.

Di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar mengenai konsistensi penegakan hukum di Kabupaten Sumenep. Mengapa melakukan praktik ilegal seperti pabrik rokok bodong dan tambak udang tanpa izin seolah-olah luput dari perhatian, sementara fokus utama pemancaran pada galian C? Apakah hal ini mencerminkan adanya inkonsistensi dalam penegakan hukum?

Pilihan untuk menutup tambang galian C secara permanen bukanlah keputusan yang mudah. Ketergantungan pada material urugan dari luar daerah akan memicu penambahan biaya pembangunan yang signifikan, mencapai Rp 1.300.000 per rit. Oleh karena itu, diperlukan kajian yang mendalam dan solusi alternatif yang lebih berkelanjutan.

Dalam konteks ini, ironi ketidakberdayaan “anak raja tambang” dalam menangani permasalahan galian C menjadi sorotan publik. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap komitmen pemerintah daerah dalam menyelesaikan permasalahan ini secara tuntas dan adil.

Sejak awal peradaban manusia, material urugan memang menjadi elemen penting dalam pembangunan. Namun, praktik penambangan yang tidak terkendali dapat berdampak negatif pada lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan kelestarian lingkungan.

Polemik galian C di Sumenep ini menjadi ujian bagi pemerintah daerah dalam menegakkan keadilan dan melindungi lingkungan. Masyarakat menuntut tindakan nyata, bukan sekadar retorika atau penyiasatan “buka tutup” demi kepentingan sesaat.

Poin-poin Kritis:

Ketergantungan pada galian C dalam proyek-proyek vital (gedung dewan, polres, proyek pemerintah).

Dugaan melakukan tindakan ilegal dan inkonsistensi penegakan hukum.

Dilema antara kebutuhan pembangunan dan dampak ekonomi serta lingkungan.

Tuntutan akan solusi berkelanjutan dan tindakan tegas dari pemerintah.

Ironi ketidakberdayaan pihak terkait.

Dengan demikian, polemik galian C di Sumenep bukan sekedar isu lokal, melainkan cerminan dari tantangan tata kelola sumber daya alam dan penegakan hukum yang kompleks.

(R.M Hendra)

By Liputan