Samsul Bahri Ketua GWI :Kekerasan terhadap Pers di Serang: Demokrasi di Ujung Tanduk?*
Serang, mediakota.com –
Kasus dugaan pengeroyokan yang dialami sejumlah jurnalis saat meliput penerimaan pabrik milik PT Genesis Regenerasi Smelting (GRS) di Kampung Cemplang, Kecamatan Jawilan, Kabupaten Serang, Provinsi Banten.pada Kamis (21/8/2025).
Samsul Bahri Ketua DPD GWI (Gabungnya wartawan Indonesia) menyatakan sikap mengutuk tindakan keras brutal yang dilakukan oleh oknum keamanan pabrik.
“Kami mendesak Polres Serang dan Polda Banten agar mengungkap serta menangkap para pelaku kekerasan yang diduga dilakukan oleh oknum petugas keamanan PT GRS,” Cetus Samsul.
Insiden kekerasan terjadi saat wartawan sedang melakukan peliputan atas perjanjian pabrik PT GRS oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Beberapa wartawan mengalami luka-luka akibat aksi kekerasan tersebut dan telah mendapatkan perawatan medis di rumah sakit.
Kekerasan terhadap jurnalisme di Serang bukanlah kejadian biasa, melainkan cerminan dari kegagalan sistemik. Kasus dugaan pengeroyokan yang dialami jurnalis saat meliput perjanjian pabrik PT GRS oleh oknum keamanan menunjukkan betapa rapuhnya perlindungan hukum bagi insan pers di Indonesia.
Ironisnya, kejadian ini terjadi ketika jurnalis sedang menjalankan tugas yang dijamin oleh Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999.
Pertanyaannya, mengapa masih ada oknum yang berani melakukan tindak kekerasan sebrutal itu di tengah tugas yang dilindungi undang-undang? Jawabannya terletak pada lemahnya penegakan hukum. ujar Samsul Bahri.
Desakan dari Ketua GWI DPD Banten untuk mengusut tuntas kasus ini seharusnya tidak perlu terjadi jika aparat penegak hukum, dalam hal ini Polres Serang dan Polda Banten, proaktif dalam melindungi kebebasan pers. Jika pihak berwenang tidak segera bertindak, ini akan mengirimkan sinyal berbahaya: bahwa kekerasan terhadap pers adalah hal yang bisa ditoleransi, dan pelaku kekerasan akan lolos dari jerat hukum.
*Kekerasan sebagai Ancaman terhadap Demokrasi*
Tindakan oknum keamanan PT GRS ini bukan hanya serangan fisik terhadap individu jurnalis, melainkan juga serangan langsung terhadap pilar demokrasi.
” Pers adalah pilar keempat yang bertugas mengawasi pemerintahan dan kepentingan publik. Ketika jurnalis dihalang-halangi, bahkan membacakan, saat meliput penjualan sebuah pabrik—sebuah isu yang sangat relevan dengan lingkungan hidup dan kepentingan masyarakat—itu berarti ada upaya untuk membungkam kebenaran.
Tindakan ini jelas merupakan bentuk arogansi kekuasaan, di mana pihak-pihak yang merasa terganggu oleh liputan media menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mengendalikan narasi,” Tegas Samsul
Jika kekerasan seperti ini dibiarkan, maka kebebasan pers akan mati secara perlahan. Jurnalis akan hidup dalam ketakutan, dan masyarakat akan kehilangan akses terhadap informasi yang akurat dan berimbang. Inilah mengapa kasus ini tidak dapat dianggap remeh; ini adalah ujian bagi komitmen pemerintah dan aparat penegak hukum dalam melindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Kami meminta seluruh rekan-rekan jurnalis untuk bersolidaritas dan bersama-sama melawan kekerasan terhadap pers. Ini bukan hanya serangan terhadap individu, tetapi juga terhadap kebebasan pers secara keseluruhan,” tutup Samsul. Jumat (22/8/25).
( Tim )