Konservatisme Melumpuhkan Potensi Ekonomi dan Kreativitas

0

Sumenep, Mediakota.com – Gagalnya konser DJ Almira Berto di Lapangan Giling Pangarangan, Kabupaten Sumenep, bukan sekedar izin acara hiburan semata. Kejadian ini mengungkap luka mendalam dalam tubuh masyarakat Sumenep: pergulatan antara dinamika zaman yang menuntut keterbukaan dengan ikatan konservatisme yang menghambat perkembangan.

Argumentasi pihak penyelenggara, EO Hilmy, yang menyatakan telah memenuhi segala persyaratan perizinan dan memiliki proyeksi positif terhadap perekonomian lokal, semakin memperkuat dugaan bahwa pembatalan konser ini didorong oleh kelompok kepentingan tertentu yang mengatasnamakan nilai-nilai agama dan moralitas. Surat teguran anonim yang diterima Hilmy, yang isinya tidak pernah diungkapkan secara terbuka, menjadi alat legitimasi yang efektif bagi kelompok-kelompok ini untuk menekan kehendak mayoritas.

Dengan dibatalkannya konser DJ Almira Berto, Sumenep telah kehilangan kesempatan untuk menunjukkan wajah modernnya sebagai daerah yang terbuka terhadap perkembangan seni dan budaya. Alih-alih menjadi pusat perhatian positif, Sumenep justru terjebak dalam citra negatif sebagai daerah yang kaku, tertutup, dan anti-kemajuan.

Pembatalan ini juga berdampak buruk bagi perekonomian lokal. Hilmy dengan gamblang menjelaskan bahwa konser tersebut akan memberikan dampak positif bagi pelaku UMKM dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, kepentingan segelintir kelompok berhasil mengalahkan kepentingan masyarakat banyak.

Peristiwa ini mengungkap dilema klasik yang dihadapi banyak masyarakat tradisional di Indonesia: bagaimana cara menyeimbangkan antara mempertahankan nilai-nilai budaya yang luhur dengan tuntutan zaman yang terus berubah. Sumenep, dengan kekayaan budaya dan sejarahnya, seharusnya mampu menjadi contoh bagaimana sebuah masyarakat dapat beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa mengorbankan identitasnya.

Namun, dalam kasus ini, tradisi justru dijadikan alat untuk membatasi kebebasan berekspresi dan menghambat perkembangan ekonomi. Kelompok-kelompok yang menolak konser DJ Almira Berto seakan-akan lupa bahwa agama mengajarkan toleransi dan kasih sayang, bukan fanatisme dan intoleransi.

Kejadian ini menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar yang perlu dijawab oleh masyarakat Sumenep:

Sampai kapan Sumenep akan terjebak dalam lingkaran konservatisme yang menghambat kemajuan?

Bagaimana cara mengatasi konflik antara generasi tua dan muda yang memiliki pandangan berbeda tentang budaya dan hiburan?

Apakah pemerintah daerah mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan yang berani dan inovatif demi kemajuan daerah?

Bagaimana cara melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan pembangunan?

Pembatalan konser DJ Almira Berto adalah sebuah tragedi yang tidak perlu terjadi. Kejadian ini seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat Sumenep untuk melakukan introspeksi diri dan membangun dialog yang lebih terbuka tentang masa depan daerah.

(R.M Hendra)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *