Tangerang, mediakota.com —
Anggaran publikasi yang digelontorkan RSUD Kota Tangerang dari pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menuai sorotan tajam. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk mendukung keterbukaan informasi publik dan memperkuat strategi kemitraan dengan media profesional, justru diduga “bocor” ke media bold yang tidak jelas keberadaannya.
Dalam penelusuran awak media, ditemukan salah satu media penerima iklan advertorial dari RSUD Kota Tangerang tidak memiliki kantor resmi, bahkan alamat yang tercantum di website mereka hanyalah formalitas belaka. Tidak ada aktivitas layaknya kantor media di lokasi tersebut. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana bisa media tanpa kantor dan aktivitas nyata, tetap mendapatkan bagian dari kue anggaran daerah?
Padahal, Peraturan Daerah (Perda) Kota Tangerang Nomor 4 Tahun 2022 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah telah menekankan bahwa setiap penggunaan dana publik harus mengedepankan asas transparansi, akuntabilitas, dan tepat sasaran. Anggaran publikasi yang nilainya tidak kecil itu jelas merupakan bagian dari belanja daerah yang harus dipertanggungjawabkan.
Saat dikonfirmasi, Humas RSUD Kota Tangerang, Drg. Fika S. Khayan, tidak menampik adanya pendistribusian dana advertorial melalui organisasi wartawan maupun jalur independen. Namun Fika menegaskan sudah menjalankan prosedur sesuai standar.
“Kami membagikan advertorial melalui organisasi wartawan dan ada juga jalur independen. Adapun kesalahan yang dilakukan oleh oknum pemilik media yang itu bukan tanggung jawab kami. Soal temuan yang disampaikan, silakan ditanyakan ke organisasi tersebut. Jika perlu, kami juga bisa membantu melaporkan media itu ke Dewan Pers,” ujar Fika di ruang kerja.
Pernyataan tersebut justru memantik pertanyaan lebih jauh: jika RSUD sadar ada media penerima anggaran yang tidak jelas keberadaannya, mengapa tetap diloloskan dalam proses pembayaran? Apakah tidak ada mekanisme verifikasi yang ketat sebelum anggaran cair?
Beberapa pemilik media resmi di Kota Tangerang merasakan ketidakadilan dengan adanya praktik ini. Mereka menilai anggaran publikasi tidak tepat sasaran, karena disalurkan ke media “abal-abal” yang tidak memenuhi standar Dewan Pers.
Praktik seperti ini berpotensi meningkatkan keadilan dalam pendistribusian anggaran APBD. Sebab, media yang beroperasi secara legal, memiliki kantor, dan aktif menjalankan fungsi jurnalistik justru tersisihkan.
Masyarakat pun menunggu sikap tegas dari Pemerintah Kota Tangerang, DPRD, hingga aparat pengawas internal pemerintah (APIP). Pasalnya, jika dugaan ini benar adanya, maka jelas telah terjadi pengurusan izin dalam pengelolaan keuangan daerah yang dapat berdampak hukum.
Anggaran publikasi bukan sekedar persoalan bayar iklan. Lebih dari itu, ini adalah kekhawatiran pemerintah daerah dalam mengelola dana rakyat. Transparansi harus ditegakkan, dan distribusi anggaran wajib diarahkan ke media yang benar-benar menjalankan peran pers sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
( RS )