Sumenep, Mediakota.com – Di tengah kerasnya himpitan ekonomi dan getirnya membesarkan dua buah hati yang telah kehilangan ayahanda, Sarmila (nama samaran), seorang janda tegar dari Desa Talaga, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep, kembali dikejutkan oleh kejamnya realita. Bukan badai materi yang menerjang, melainkan badai hati yang ditimbulkan oleh seorang “malaikat” palsu bernama Toyib. Lelaki paruh baya yang mengaku berasal dari Gerbang Salam, Pamekasan, datang membawa janji suci pernikahan, namun pergi membawa derita yang lebih mendalam.
Bagaimana mungkin hati nurani seorang manusia tega merampas satu-satunya asa transportasi dari seorang ibu yang berjuang seorang diri demi dua anak yatimnya? Toyib, dengan kepiawaian seorang manipulator ulung, memulai aksinya dengan modus telepon “nyasar” yang berakhir pada rangkaian kata-kata manis dan kepedulian palsu. Ia memainkan peran layaknya seorang pahlawan yang memahami betul beban Sarmila sebagai tulang punggung keluarga sekaligus ibu bagi dua malaikat kecil yang telah kehilangan sosok ayah.
Pertemuan yang diatur bak adegan sinetron, dengan Sarmila membawakan serta kedua buah hati menyambut “calon suami” di Pasar Pragaan, menjadi awal dari tragedi yang memilukan. Kepercayaan Sarmila yang polos dan penuh harap, direnggut paksa ketika Toyib dengan lihainya mengambil alih kemudi motor Vario, satu-satunya kendaraan yang menjadi tumpuan hidup keluarga kecil itu.
Adegan di swalayan menjadi puncak dari kebiadaban Toyib. Menurunkan Sarmila dan kedua anaknya dengan dalih membelanjakan kebutuhan mereka, sementara ia “sebentar” mengambil uang di ATM terdekat, adalah skenario klasik seorang predator yang memanfaatkan kepolosan korban. Betapa hancurnya hati Sarmila dan betapa bingungnya kedua anaknya ketika sosok “ayah” impian itu tak kunjung datang kembali. Mereka ditinggalkan di tengah keramaian, bukan sekedar belanja tanpaan, namun juga tanpa kendaraan, tanpa harapan, dan dengan luka yang menganga di hati sang ibu.
Motor Vario itu bukan sekadar besi beroda bagi Sarmila. Ia adalah kaki yang mengantarnya mencari nafkah, mengantar anak-anaknya ke sekolah, dan menjadi simbol kemandirian di tengah kesepian sebagai seorang janda. Motor yang dirampasnya sama dengan merampas sebagian besar harapan dan mata pencaharian keluarga kecil ini.
Sungguh ironis, seorang yang datang dengan janji pernikahan, sebuah ikatan suci yang seharusnya dilandasi kasih sayang dan tanggung jawab, justru menjelma menjadi merangkul yang tidak hanya mengambil harta benda, tetapi juga merenggut kepercayaan dan meninggalkan trauma yang mendalam. Tindakan Toyib bukan hanya kriminal, tetapi juga sebuah penghinaan yang menusuk jantung seorang ibu yang telah cukup lama merasakan pahitnya kehidupan.
Kisah Sarmila dan kedua anaknya adalah potret buram tentang betapa kejamnya dunia ini terhadap mereka yang lemah dan penuh harapan. Air mata Sarmila mungkin tak terlihat oleh Toyib yang telah melarikan diri, namun duka di hati kedua anak yatim itu akan menjadi luka seumur hidup. Semoga pihak berwajib segera bertindak untuk menangkap pelaku dan mengembalikan senyum serta harapan bagi Sarmila dan kedua buah hati yang malang. Kehilangan seorang suami dan ayah mungkin sudah cukup menyayat hati, namun dirampas hak untuk mencari nafkah demi kedua anak tercinta adalah sebuah kezaliman yang tak terperi.
( R.M Hendra )