Penutupan 130 Perguruan Tinggi Swasta Benar atau Salah

Rabu | 07 Agustus 2019 | 06:55:29 WIB
Kejaksaan Agung RI

FOTO : ISTIMEWA/MEDIAKOTA

MEDIAKOTA.COM,-Oleh : M Budi Djatmiko (Ketua Umum APTISI Pusat)

Bandung, 6 Agustus 2019.

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk mencerdasakan kehidupan bangsa, pemerintah sangat perlu banyak dana untuk
membuka sekolah dan kampus, tetapi kewajiban ini diambil alih oleh swasta. Mestinya
pemerintah berterimakasih pada masyarakat yang mau menyisihkan sebagian uangnya untuk
membuka sekolah dan kampus di Indonesia.
Dan jika kita mengacu ke Undang-undang Dasar 1945 Amandemen, BAB XIII,
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN dalam Pasal 31 ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya; artinya Presiden bisa diberhentikan oleh MPR jika tidak memberikan fasilitas pendidikan yang memang menjadi kewajibannya dalam perundangan, dan menteri urusan pendidikan bisa diberhentikan oleh Presiden jika ada anak usia sekolah dasar tidak sekolah dan ternyata tidak mengikuti pendidikan, dibiarkan saja terlantar. Apalagi Presiden Jokowi telah menetapkan wajib belajar 12 tahun, hingga tingkat SLTA. Artinya sekolah gratis bukan sesuatu yang harus diminta masyarakat karena itu sudah menjadi hak masyarakat dan kewajiban negara dan juga janji kampanye Jokowi hingga tingkat SLTA (kampanye 2014).

Untuk sekolah negeri saat ini semestinya sudah gratis tapi memang masih ada persoalan di masyarakat terkait adanya pungutan biaya lain di sekolah. Secara konseptual dan regulasi sesungguhnya masyarakat berhak memperoleh pendidikan gratis. Pungutan yang terjadi di sekolah, menurutnya, karena implementasi kebijakan yang tidak sesuai ketentuan.
Sekalipun ada sekolah swasta tetap pemerintah wajib memberikan biaya melalui sekolah dasar/menengah swasta tersebut. Bagaimana di tingkat pendidikan tinggi? Yah, tentunya juga sama, pemerintah memiliki “kewajiban moral” untuk membebaskan biaya kuliah bagi warga
negara Indonesia, termasuk di perguruan tinggi swasta (PTS).
Dari Kuratif Ke Preventif Promotif Kemenritekdikti bukanya memberikan bantuan pada mahasiswa kurang mampu, pada PTS kecil, pada PTS yang kurang sarana dan prasarananya, pada PTS dari daerah / kepulauan terjauh dan pada PTS dari daerah dan kepulauan terluar, eh malah bangga dengan menutup PTS. Mestinya kemenristekdikti malu dengan adanya PTS ditutup artinya menteri, dirjen dan
direktur belum mampu bekerja secara maksimal dan belum mampu membuat masyarakat tenang dan senang, mereka bekerja dengan konsep kuratif bukan dengan konsep preventif.

Jika KPK, kepolisaan, Kejaksaan dan kehakiman bekerja dengan konsep preventif, maka hasilnya tidak ada orang jahat di penjarakan oleh negara. Tetapi kenyataannya sekarang penjara penuh, artinya kerja mereka dengan konsep kuratif. Dengan kata lain kementerian ristekdikti belum mampu memberikan pelayanan dan
pembinaan yang baik dan benar sehingga lahir perilaku masyarakat yang baik dan benar. Artinya jika PTN itu sehat karena diperhatikan oleh pemerintah 100%, dan jika PTS sekarat artinya pemeritah tidak memberikan perhatian, maka saya sering katakan kemenristekdikiti menterinya PTN, karena pemerintih manganaktirikan PTS, juga dilihat keberpihakan pada anggran APBN, pada PTS sangat minim sekali.

Semestinya Direktorat Kelembagaan Iptek dan Dikti, mengembangkan konsep pembinaan perguruan tinggi dari Kuratif Ke Preventif Promotif Melalui "Self Care" untuk Membangun Kampus berkualitas. Dengan ujung tombak L2Dikti (lembaga layanan
pendidikan tinggi) dimanfaatkan secara nyata melalui berbagai pendampingan program nyata,
dan sudah seharusnya bukan lagi memerintah dan menekan PTS, tetapi berlomba memberikan layanan pada PT termasuk pada PTN dan PTS. Walaupun dari hasil kunjungan kami di setiap daerah sudah banyak perubahan pada perilaku pejabat di L2dikti, namun tetap saja masih ada PTS masih merasa kurang (mungkin karena masih transisi). Kedepan tidak
boleh adalagi PTS yang ditutup, jika ada kesalahan paling pertama ada pada pihak kemenristekdikti, karena mereka yang menerbitkan ijin dan mereka pula yang mentupnya, artinya dulu memberikan ijinnya asal-asalan. Dari beberapa negara-negara maju yang saya kunjungi selalu saya menanyakan apakah ada perguruan tinggi yang ditutup pemerintah, jawabannya hampir tidak ada, yang ada pemerintah memfasilitasi marger antar perguruan tinggi, jangan-jangan kita yang salah. Misalnya Finlandia menggabungkan tiga perguruan
tinggi menjadi satu agar lahir lulusan yang handal, dan lahirlah NOKIA dikampus Universitas Alto, Helsinki Finlandia. Yang Tidak Diketahu
Kunjungan kesekian kali di Helsinki Finlandia, menjadikan imajinasi saya berfikir jauh tentang Indonesia, kedepan apa iya kita tiru mereka, apalagi saat beberapa wartawan meminta komentar tentang penutupan 130 PTS selama periode 2015-2019, yang notabene adalah anggota APTISI. Tentu di sisi lain ada menyenangkan dan ada yang menyedihkan. Apa yang menyenangkan. Pertama, yaitu semakin disaring kualitas PTS
anggota APTISI yang berjumlah kurag lebih 4.700, Kedua, PTS yang bermasalah sangat sedikit, keburukan yang hanya 2,76% dari total jumlah PTS, walaupun akan berimbas pada 97,24% dari PTS yang ada. Ketiga, ini adalah hukuman dan cambuk bagi PTS yang nakal, walaupun lebih kecil lagi jumlahnya (kurang lebih 6 PTS) setara 0,12% dari total jumlah PTS. Keempat, agar berfikir ulang bagi oknum-oknum penyelenggara PTS yang nakal.
Kelima, pelajaran yang dapat dipetik oleh semua yang merasakan dan tidak merasakan.

Apa yang menyedihkan (tidak menyenangkan). Pertama, masyarakat menganggap semua PTS bermasalah, walaupun yang bermalah kecil prosentasinya. Kedua, mestinya pemerintah dalam hal ini kemenristekdikti mampu menjelaskan pada masyarakat kenapa
mereka bisa ditutup. Ketiga, justru saya menganggap ini adalah kegagalan kemenristekdikti karena hanya mampu menutup saja tanpa bisa menyelesaikan masalah. Keempat, pernahkah kemenristekdikti memperhitungkan berapa teriliun akibat penutupan 130 perguruan tinggi
dan pemberian sangsi non aktif pada 243 (awal 2015). Kelima, pernahkan kemenristekdikti memikirkan akibat dan dampak langsung atau tidak langsung terhadap kerugian matriil dan non matriil. Oknum yang salah PTS-nya ditutup. Menurut saya kebodohan yang mendalam jika dirumah kita ada tikus, kecoa dan nyamuk nakal kemudian dengan serta merta pak luruh dengan congkaknya, bicara pada
aparatnya untuk membakar rumah tersebut. Padahal seisi rumah tersebut ada penghuni lain yang tidak pernah tahu kenakalan si tikus, tidak pernah mendengar kenakalan kecoa, cuma pernah mendengar sekelompok binatang membicarakan kenakalan nyamuk, yang ia sendiri belum pernah mengetahui secara kasat mata. Lalu tiba-tiba rumah sudah dibakar oleh aparat kelurahan. Dan inilah yang terjadi pada PTS 243 yang dinonaktifkan, dan akhirnya dengan
sendirinya ada 130 yang harus ditutup.

Dalam kasus penutupan PTS, semestinya tidak terjadi kalau fungsi dan peranan kemenristekdikti memang baik dan benar hingga tingkat lembaga layanan pendidikan tinggi (L2DIKTI, dulu kopertis) , artinya tidak boleh ada masyarakat yang merasa dirugikan.
Bagaimana mungkin dalam kasus penonaktifan 243 perguruan tinggi ini kasusnya beragam, a) ada yang karena rasio dosen dan mahasiswa tidak sesuai kententuan (ini yang paling ringan). b) ada yang permasalah internal PTS, yang akhirnya rektor dan yayasannya kembar, ini akibat lama dalam mediasi dan sistem peradilan kita yang juga bermasalah dan berlarut-larut. c) adanya oknum pimpinan PTS membuka kelas diluar domisili. d) adanya oknum pimpinan PTS membuat ijasah asli tapi proses pembelajarannya tidak benar, dan ada yang tanpa belajar (ini pelanggaran berat). e) adanya perguruan tinggi tak berijin tetapi
mengeluarkan ijasah dan mewisuda (ini diluar anggota APTISI) dll.


Mestinya kasus pimpinan PTS yang bermasalah karena meluluskan seseorang tanpa melakukan proses pembelajaran dan atau melakukan proses pembelajaran tidak sesuai dengan norma akademik semestinya kena sangsi pidana, artinya jika PTS tersebut dinonaktifkan tidak masalah sambil diberikan pendampingan sehingga bisa sehat kembali dan oknum yang nakal tadi dipenjarakan agar tidak terulang kembali. Disisi lain dosen, karyawan dan mahasiswa yang memang melakukan proses pembelajaran yang benar tidak kena imbas, dengan sangsi nonaktif sampai penutupan PTS tersebut.

Lempar handuk putih dari 130 PTS yang ditutup, sebagian besar memang yayasan pembinanya sudah lempar handuk putih, dan meminta ditutup sudah cukup lama. Tentu hal ini ada sebabnya. Pertama, akibat kesalahan manajemen PTS yang akhirnya mereka sudah tidak mampu membiaya dirinya. Kedua, akibat terus menurunnya kepeminatan dari program studi yang ditawarkan. Ketiga, akibat lesunya ekonomi kita dalam empat tahun terakhir, sehingga hampir rata-rata tiap tahun jumlah mahasiswa masuk PTS menurun 10%, mereka lebih mementingkan kebutuhan primer dari pada kebutuhan untuk kuliah (kebutuhan sekender).
Keempat, kakunya peraturan pemerintah, dalam hal ini kemenristekdikti tidak memberikan
kemudahan penggantian ijin program studi, atau dalam kata lain mestinya PTS bisa membuka dan menutup program studi sendiri sesuai dengan kepeminatan dan kebutuhan masyarakat, jika PTN BH (berbadan hukum) bisa kenapa PTS tidak bisa menutup dan membuka program studi sesuai kebutuhan masyarakat.
Namun ternyata banyak masyarakat tidak banyak mengetahui tentang sebab kenapa ada 130 PTS yang ditutup, mereka berfikir semua itu adalah PTS nakal, padahal
banyak juga dari mereka memang dibunuh oleh sistem, karena faktor ekonomi indonesia yang terpuruk empat tahun terakhir dan ada faktor lain yaitu semakin sedikitnya peminat masuk D3 (diploma tiga) maka banyak yang ditutup dari perguruan tinggi berbasis Akademi, dan khusunya paling banyak adalah akademi kebidanan dan beberapa akademi yang terdisrupsi karena masuknya digitalisasi melalui revolusi industri 4.0, misal akademi
sekertaris, program studi perbankan, program studi perjalan wisata dll. yang sudah dijauhi peminat, dan kedepan akan banyak lagi yang ditutup karena terdisraption. Dan sekarang yang terjadi banyak PTS yang betul-betul sudah mau berubah dan sedang berubah dan namun memang membutuhkan waktu dan biaya yang banyak tetapi ini semua harus berproses, disisi lain pemerintah harus juga memberikan apresiasi, karena
perubahan tidak bisa serta merta, maka APTISI sekarang banyak turun untuk memberikan pendampingan pada PTS bermasalah, agar cepat keluar dari kemelut dan kami selalu menganjurkan untuk bisa marger sesuai anjuran pak Jokowi dan pak M Nasir, tetap harus tetap selalu menaikan kualitas, minimal melampau standar nasional perguruan tinggi, tetapi kadang terhambat hal-hal yang sangat teknis dan mestinya tidak terjadi. Juga dalam kasus
marger ada masalah teknis, karena dulu PTS ini bermasalah ijin merger tidak kunjung keluar, tetapi dibiarkan tanpa diberikan solusi, ini masalah yang memuakan dan sering berulang. Mestinya berikan kepastian dan panggil orang-orang yang dianggap bermasalah, undang APTISI, Tim EKA dan L2Dikti untuk memberikan pendampingan dan penyelesaian,
sehingga pekerjaan rumah terus berkurang, walaupun terkadang ada oknum dari PTSnya juga
bermasalah dan tidak mau berubah.
Tetapi setidaknya dengan mediasi dan mengundang melalui pertemuan secara intensif dengan semua unsur terkait PTS yang bermasalah, tim EKA, APTISI dan L2Dikti maka hal ini akan mempermudah yang sulit, meringankan yang berat. Lakukanlah pak menteri mumpung belum terlambat dan anda akan didoakan dengan kebaikan, bukan malah banyak orang yang mengeluh karena terhambat dan menjadi teraniaya, maka terkabulah doa mereka yang teraniaya.

Kesimpulan: Akhirnya kita bisa berpendapat, apakah penutupan 130 PTS itu benar atau salah, silahkan pikirkan baik-baik. Anda setuju yang mana, jika anda berfikir PREVENTIF, mestinya semikin sedikit PTS yang tutup dan semakin banyak PTS yang sehat. Dan sebelum ditutup
diberikan kemampuan mempertahankan diri secara preventif dilakukan pencegahan penutupan
PTS dengan berbagai usaha, bantuan melalui pendampingan serta pembinaan yang terstruktur
dan masif dari pemerintah sehingga sebelum ditutup ditawarkan marger karena sudah disehatkan terlebih dahulu oleh pemerintah dalam hal ini Kemenristekdikti. Tetapi jika anda berfikir KURATIF maka sebaliknya diamkan semua PTS tanpa
diberikan perhatian dan pelayanan yang berarti, dan lama-lama mereka melakukan tindakan kriminal untuk mempertahankan hidupnya, mereka bertindak nakal karena ingin tetap eksis, tetapi justru karena pembiaran ini mereka sedikit demi sedikit melakukan kesalahan dan
terjebak dalam dosa dan kesalahan, dan tiba-tiba kemenristekdikti baru ditindak, wah sudah terlambat. Maka pencegahan jauh leih baik daripada mengobati.

Beberapa hari yang lalu saya ke tiga negara skandinavia dan kehidupan yang nyaman sangat diidamkan misalnya kenapa
Finlandia disebut negara paling nyaman di dunia, pendapatan tertinggi di dunia, mereka tidak ada kejahatan, penjaranya kosong, polisi tidak ada dijalanan, halnya sama saat kami berkunjung ke Swedia, tidak pernah melihat polisi ada di jalanan dan saya tanyakan hampir tidak ada kejahatan disana, jika ada adalah warga negara asing atau pendatang yang berbuat jahat. Jadi mereka melakukan pencegahan bukan melakukan tindakan setelah membiarkan
sesuatu dalam lumpur dosa. Dengan cara apa dan bagaimana dengan membrikan hukuman
yang berat dan ada semua CCTV dimana-mana.

Kedepan buat jera para pelaku dosa di perguruan tinggi dengan di hukum seberat-beratnya, dan buat transparansi dengan berbagai cara (salah satunya dengan jejak
digital dan CCTV). Jadi kita semua dan Kemenristekdikti mestinya mengucapkan inalillahi wa inaillahi rajiun, dengan ditutupnya 130 PTS, semoga tidak terulang lagi hal ini di Indonesia dimasa mendatang. Berarti ada yang salah dong. (**)