Gerakan Sungai tak Cuma Keprihatinan

Jumat | 22 Maret 2019 | 06:54:26 WIB
Kejaksaan Agung RI

FOTO : ISTIMEWA/MEDIAKOTA

MEDIAKOTA.COM,-Jakarta, 22 Maret 2019 -
Pernyataan keprihatinan kerap dikemukakan secara terus menerus oleh banyak pihak atas kondisi sungai-sungai di Indonesia saat ini. Tentu saja hal itu tidak akan berarti tanpa disertai langkah atau tindakan bersama yang merupakan gerakan bersama dan bersifat kongkrit.

Hal ini ditekankan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, selaku Pembina Kongres Sungai Indonesia di depan para peserta Kongres Sungai Indonesia keempat (KSI 4.0) di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Barat, pada Kamis malam (21/3 2019)

Ide-ide yang muncul dari Kongres Sungai Pertama tahun 2015 di Banjarnegara, Jawa Tengah, menurut Ganjar, umumnya bagus. Dari situlah berbagai praktik dilakukan oleh komunitas sehingga nampak ada perubahan yang menggairahkan.

“Akan tetapi yang kita butuhkan kini adalah metodologi dengan parameter yang jelas dan terukur,” tambahnya.

Dengan cara seperti itu maka akan didapatkan kemajuan. Misalnya saja dalam kesempatan KSI 4.0 dirumuskan sebuah kesepakatan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu di berbagai daerah. Di sinilah sebuah metodologi dibutuhkan dengan indicator yang jelas. Sehingga dalam kongres berikutnya pekerjaan itu bisa diukur kemajuannya dengan indicator yang dimaksud.

Hal penting lain yang disampaikan adalah seruan untuk memanfaatkan media digital secara terus menerus oleh pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya perbaikan kondisi sungai.

Praktik-praktik yang baik itu semestinya diunggah dan diviralkan di tengah maraknya konten media social yang amat memprihatikan karena menerabas batas-batas kepantasan dan etika.

Untuk mencapai kemajuan salah satu prinsip yang dibutukan adalah kemandirian.

Hal itu mungkin tidak mudah karena sikap gotongroyong berhimpitan dengan praktik padat karya di mana individu yang terlibat mendapatkan upah. Sedangkan gotongroyong yang mandiri muncul oleh pengertian bahwa persoalan yang ditangani menyangkut nasib bersama.

Tugas para pegiat komunitas tidak mudah karena masalah bencana dan sungai masih belum menjadi prioritas dalam kehidupan masyarakat sekarang. Hal itu misalnya terjadi dalam kasus Rawapening di Jawa Tengah. Masyarakat susah digerakkan karena pada masa lalu pihak yang berwenang menanamkan pengertian keliru soal gotongroyong. Saat itu warga bekerja membersihkan rawa karena mendapatkan upah. Semakin banyak hasil kerja dilakukan dia akan menerima upah yang lebih besar.
Saat ini para pegiat komunitas di sana mencoba mengembalikan pengertian gotongroyong lewat festival yang menjadi wadah bagi kelompok-kelompok warga untuk mengekresikan diri. (Red)